KETIKA DIA
YANG AKU HARAPKAN UNTUK MASA DEPANKU, TERNYATA BUKAN DIA.
Di atas gundukan tanah merah tawa kita merekah. Dulu kita bahagia
bersama, menghabiskan masa sebelum kita benar-benar serius ingin menggapai asa.
Dulu berlarian tanpa alas kaki dan merebah pada lempeng bumi yang beratap
langit biru adalah kegemaran kita. Aku tak pernah mengeluh atas kesederhanaan
hidup yang kita jalani. Aku selalu mengingat setiap ucapan polos penuh makna mu
yang memotivasiku “kita akan sulit bahagia jika kita juga sulit bersyukur”.
Darimu aku belajar banyak.
Dulu tanganmu tak sungkan menggengam pada sela-sela jemariku saat diri
ini tak mampu lagi mendaki. Dulu pundakmu begitu kuat menggendongku di saat aku
kelelahan untuk berjalan dan kembali pulang. Dulu kamu selalu melindungiku.
Sosok perkasamu tak pernah aku lupa. Kamulah pembela dari segala kegaduhan dan
kejahilan anak-anak nakal yang mengusiliku. Hal lain yang aku senangi dari
dirimu yaitu kamu tak pernah sombong atas kepintaran yang kamu miliki. Tak
pernah malas dan angkuh dalam mengajari ulang aku setiap pelajaran IPA dan
matematika yang diajari ibu guru di sekolah. Betapa itu pelajaran yang susah
namun rasanya begitu mudah bagimu. Aku selalu merasa nyaman saat berada di
dekatmu, dalam segala kondisi, dalam setiap keadaan. Aku bahagia.
Pernah ingat harapan dan keinginan kita? Mungkin ini hanyalah sebuah
angan, namun bagaikan ikrar kita berdua yang terlontar saat kita duduk bersama
di atas bukit yang menghijau. Kamu dan aku pernah punya cita-cita, kita berdua
ingin menjadi dokter. Dulu kita ingin mengelilingi dunia. Dulu terselip
keinginan kita untuk pergi ke negeri cokelat. Dulu kita pernah memiliki mimpi
untuk membangun sebuah kerajaan. Kamulah rajanya dan aku sebagai sang ratu.
Masih ada lagi berjuta harapan yang pernah kita rangkai bersama, terkandung dan
diam bersahaja dalam sebuah rantai impian.
Aku dan kamu, kita selalu bahagia. Dalam canda kuselipkan cinta
diam-diam. Cinta tak berucap yang aku harap dapat terbalaskan. Walaupun aku tak
tau pasti kapan itu akan terjadi.
Suatu hari,
aku menemukanmu sedang duduk tersenyum di bawah pohon apel.
“Aditya, kamu kok senyum-senyum sendiri?” aku mendekatimu, lalu duduk tepat di
sampingmu.
Melihat kedatanganku, kamu tiba-tiba saja memelukku, begitu erat sehingga aku
sedikit sulit untuk bernafas. Tapi itu menyenangkan. Kamu lalu menunjukan
sebuah lipatan surat putih kepadaku.
“Apa ini?”
“Buka saja. Sudah lama sekali, dan akhirnya kesampaian juga” kamu lalu
tersenyum begitu lebarnya hingga sederet gigi putihmu tergambar indah.
Kira-kira
apa yang membuatmu sebahagia itu? Sebuah surat? Tapi apa isinya? Apakah ini
sebuah surat cinta? Apakah ini surat cintamu? Untuk aku? Apakah ini secarik
kertas berisikan perasaanmu kepadaku? Aku bertanya pada gerangan.
Tanganku
gemetaran membukanya. Entahlah, aku hanya berharap sesuatu yang baik.
“Be-beasiswa? Kamu dapat beasiswa!? Ke l-lua negeri?!” Aku berteriak dan
tersentak kaget.
“Iya!!! Sudah lama aku mendambakannya! Aku berhasil Nania! Aku seneng banget!!”
Adit lalu melompat dari tempatnya dan memelukku lagi. Namun kali ini lebih
erat. Aku lalu membalas pelukan itu.
Dalam sebuah pelukan kecil aku menangis terharu. Walaupun isinya tak
seperti yang aku bayangkan, namun aku sudah benar-benar bahagia dalam
keberhasilanya meraih beasiswa ke negeri orang, itu pencapaian yang sangat luar
biasa. Aku bahagia dalam bahagianya.
“Jadi itu berarti kamu akan pergi?”
tanyaku memelas.
“I-iya..” dia sedikit ragu menjawab.
“Kapan kamu pulang?”
“Aku tak tau, mungkin 4 tahun lagi”
“Mengapa begitu lama?” aku sedikit menggigit bibirku
“Karena kita membutuhkan waktu yang lama untuk belajar”
“Tapi kamu tetap akan kembali ke sini kan?”
“Iya aku janji” dia lalu mengangkat kelingkingnya, demikian hal nya dengan aku.
Kami berjanji kala itu. Untuk kembali ke tanah ini, sekitar 4 tahun lagi.
Dalam bahagia akupun bersedih. Aku berusaha menghilang dari perasaan yang
mulai menggelitik semakin merajam. Namun semakin lama justru aku semakin sulit
tuk bernapas dan bergerak dalam ruang hati yang terkunci oleh cinta yang
bersembunyi.
Diam-diam aku menyukaimu. Entahlah, apakah sama halnya dengan dirimu
ataukah justru sebaliknya? Kamu pernah berkata padaku “Kamu boleh kok anggap
aku sebagai kakak kandungmu sendiri, walaupun umur kita sama”. Tapi bagiamana
jika aku menganggapmu lebih? Bolehkah? Jika tidak boleh, lantas bagaimana jika
semuanya telah terlanjur? Aku sudah terlanjur jatuh cinta karena hatimu. Aku
selalu ingin berada di dekatmu, selalu.
Cinta itu semakin membesar dan memenuhi seluruh ruang jiwa. Aku tak
berani berucap dalam jujur. Walau aku tau dimanapun kita bersembunyi cinta
tetap akan menemukan kita. Tapi aku tak berharap cinta akan menemukanmu kala
itu. Dan taukah kamu? Aku berhasil, aku memenangkannya! Cintaku berhasil aku
sembunyikan. Cinta yang aku miliki pun tak mampu menemukanmu. Ya tentu saja
karena cinta itu nampaknya tak bisa melangkah sejauh langkahmu meninggalkanku.
Aku tak pernah bersedih dan menghakimi Tuhan atas perpisahan kita. Aku
justru berterimakasih kepada-Nya atas kepintaran yang telah dianugerahkan kepadamu
sehingga kamu bisa mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di luar negeri dengan
standar mutu yang lebih baik. Hingga saat ini, setelah kamu pergi meninggalkan
tempat kita, aku tak pernah tau kejelasan atas perasaanmu kepadaku. Tapi tak
apa, aku akan menunggu dengan setia.
—
Setiap malam bintang menghujan langit hitam. Kelap-kelip yang selalu kita
lihat bersama kini hanya mampu aku nikmati seorang diri. Aku masih mencintai
tanah ini, tempat masa kecil kita yang telah memberikan berjuta kenangan.
Setidaknya disinilah Tuhan pernah mempertemukan kita, walaupun di tempat ini
pula kita dipisahkan.
Terlalu banyak pertanyaan berputar dan bermuara pada otakku saat ini.
Kamulah tersangkanya. Kamu penyebab dari kepusingan dan kegundahan yang selalu
aku rasakan. Bagaimana dengan keadaanmu? Seperti apa sekolahmu di sana?
Bagaimana dengan teman-teman barumu? Bagaimana dengan hobbymu? Masih samakah?
Masih ingat dengan aku? Ah.. mungkin saja kamu sudah lupa. Aku hanya kawan
kecilmu yang tidak terlalu istimewa. Aku hanya seorang gadis kecil berkuncir
dua yang sulit untuk mengikat tali sepatunya sendiri. Aku hanyalah seorang
gadis yang suka ngambek kalau direbut permen lolinya. Aku hanya gadis kecil
dengan segala sifat kekanak-kanakannya. Aku hanya gadis kecil yang menyukai
warna merah muda dan boneka teddy. Aku adalah seorang gadis kecil yang tak
pantas namun telah lancang untuk menyukai… dirimu. Maafkan atas kelancanganku
ini.
Aku sempat menduga kamu telah melupakan semuanya, tentang kita dan tempat
ini. Aku sempat mengira kejeniusan otakmu telah benar-benar membawamu pada
dunia yang berbeda. Dunia tempat tinggalmu, penuh dengan kemudahan teknologi
yang berisikan orang-orang brilliant. Duniamu yang baru, aku takut telah
mengubah kawan kecilku yang dulu.
Tapi tidak, doktrin dan segala pikiran ngawurku yang sudah telontar
sangat jauh ternyata salah. Kamu kembali pulang. Kamu kembali ke tempat kita,
sayang. Aku tak ingin melepaskanmu kali ini. Tidak lagi, kamu jangan pergi
lagi. Jika kau temui seseorang yang pertama kali menangis di saat kepergianmu,
maka itulah aku.
“Kenapa kamu gak bilang-bilang aku
dulu kalau kamu mau datang? Kan biar aku bisa siapin makanan-makanan enak. Aku
udah bisa masak loh?” Aku tersenyum lebar, mengacungkan jempol kananku mantap.
“hehehe, aku cuma mau liburan aja. Aku mau memberitahukanmu sesuatu. Yah
hitung-hitung mau ngasih surprise aja” Angin berhembus lembut diiringi tawa
manisnya yang merekah indah.
“Surprise? Apa itu?”
“Itu artinya kejutan” Jawabnya santai.
“Oh haha. Oke Kejutan. Kamu emang udah bener-bener ngejutin aku banget. Tapi
jujur aja aku seneng dengan kehadiranmu” Aku berucap dengan entengnya, tanpa
menyembunyikan apapun yang ingin aku katakan.
“Haha.. eh anyway aku mau ngasih tau kamu sesuatu loh? Sesuatu yang spesial
banget!”
“Apa Dit?”
“ada deh, hehe bukan sekarang”
“Ih kamu ini bikin penasaran deh. Kapan dong?”
“um entar deh aku hubungin kamu lagi”
Mungkinkah? Hal yang ingin dia sampaikan padaku itu merupakan jawaban
dari penantianku selama ini? Apakah setelah 4 tahun kita dipisahkan Tuhan? Dan
inikah hasilnya? Inikah takdirMu Tuhan? Benarkah? Jantungku berpacu kuat,
sekuat rusa yang berlari kencang, menghindar dari busur panah.
“Hey Nania, kamu ngelihatin apa
sih? Kok bengong gitu tiba-tiba. Haha masih sama aja kayak dulu, sukanya
bengong wae” Aditya lalu megacak-acak pelan rambutku, sesuatu yang sangat aku
sukai dari dia. aku seperti merasa… di sayang?
“Ah enggak hehe” jemariku mulai memainkan gerakannya, merapikan rambutku yang
sedikit berantakan dalam frekuensi tetap selama beberapa detik.
“Oh iya besok pagi aku mau pergi ke air terjun nih”
“Kamu mau ngajakin aku gitu maksudnya?” Ya ampun pipiku jadi memerah malu.
“eh, iyah? Sebenarnya.. ada yang ingin aku tunjukan padamu disana”
“Ada apa? Kok kamu..”
“ah enggak papa, besok pagi jam 8 aku jemput kamu ya? Aku udah lupa soalnya
jalan menuju kesana makanya kamu ikut aku ya?” Aditya menggaruk pelan
kepalanya.
“oke hehe”
Ya Tuhan, aku tidak sabar. Sudah lama aku menanti-nantikan kesempatan
seperti ini. Teman kecil yang Engkau pertemukan kembali. Betapa beruntungnya
aku.
Langit
berangsur-angsur menunjukkan efek tyndal. Warna biru telah tergantikan menjadi
orange lalu kemudian hitam memenangkan semuanya, kembali memakan langit dan
terselimut gelap malam.
Semalaman aku sulit untuk tertidur. Mengapa jam berputar sangat perlahan?
Ayolah! Ingin rasanya aku menendang setiap jarum jam yang bergerak per
detiknya. Agar dia semakin cepat! Agar aku bisa beremu Adit lagi, aku kangen ya
Tuhan.
Sedikit demi sedikit aku terbuai jauh masuk melampaui batas alam sadar
manusia. Aku tertidur.
—
“Nania, kok siap-siapnya lama
sekali kamu? Ayo buruan, sudah di tunggu Adit di depan tuh” Bapak berteriak
dari arah ruang tamu. Suaranya terdengar dengan sangat jelas sampai di kamar.
“Iya Pak, bentar lagi Nania keluar kok” Aku berusaha menyahut seruan itu.
“Ah tidak apa-apa kok pak, pelan-pelan saja” Terdengar pelan suara Aditya yang
berkata kepada Bapak. Lalu keduanya tertawa.
Aku lalu keluar kamar. Memakai baju short dress biru bermotif
bunga-bunga. Tidak, kali ini bajunya tidak seperti anak kecil. Umurku sudah 18
Tahun, tidak lagi berbaju short dress pink dan berkuncir dua.
Kami lalu menaiki mobil Aditya. Sepertinya dia memang telah lupa arah
jalan menuju air terjun. Padahal dulu dialah kompasku, penunjuk jalan kemanapun
kami ingin bepergian. Yah waktu memang memiliki kemampuan dan kekuatannya
sendiri dalam mengubah seseorang, mengubah ingatan, karakter dan pola pikir,
apapun itu. Sepertinya sekaranglah giliranku, penunjuk arah ke salah satu
tempat favorit kami dulu. Tak heran, memang sudah cukup banyak perubahan di
sini, selain akses jalan yang sudah lebih bercabang. Tapi sebenarnya tak jauh
berbeda.
Sepanjang perjalanan Aditya memang sibuk menyetir dan bertanya arah
padaku. Tapi ada satu hal yang sedikit mengusikku. Dia juga terlihat begitu
sibuk dengan hapenya, tertawa dan tak henti mengutak-atik setiap tuts mungil
itu menggunakan tangan kanan semntara tangan kirinya tetap menyetir. Aku hanya
bertanya-tanya, memangnya hal menarik apa yang ada dalam kotak elektronik kecil
itu?
—
“Akhirnya sampai! Kok rasanya jauh
ya? Padahal waktu kecil dulu serasa cuma berjalan kaki lima menitan doang hehe”
dia menarik napas dalam dan menghembuskan, dalam.
“Haha, itu karena kita menikmati setiap langkah kita dulu. Kita juga menikmati
setiap waktu yang berlalu hingga lelah tak pernah terasa begitu nyata” iya, aku
memang menikmati semuanya, terutama.. terutama saat bersama kamu Adit. Ah andai
kamu tau.
“iya iya mungkin kamu benar. Setuju banget aku” dia tersenyum.
Wajahnya masih sama, tak satupun berbeda kecuali goresan pada lekukan
pipinya sedikit lebih banyak dan raut wajah yang telah lebih dewasa.
Dari kejauhan terdengar suara seorang cewek yang memanggil nama Aditya.
Nampak seorang cewek yang baru keluar dari sebuah mobil hitam mewah. Cewek itu
cantik. Benar-benar bergaya ala cewek metropolitan. Rambutnya sepanjang
pinggang, hitam lebat dan sedikit bergelombang. Kulitnya putih dan bersih. Dia
memakai celana jeans selutut, kaos putih polos yang dilapisi rompi hitam dan
kalung dengan leontin berbentuk hati yang setiap ujungnya seperti dilapisi
intan-intan kecil dan di bagian dalamnya terdapat huruf A&N. indah sekali
kalung itu. Dia berjalan perlahan, terlihat sangat anggun walaupun dengan style
seperti itu di tambah lagi sepatu kets putih di kaki. Dia menggantungkan tas
kecil di tangan kirinya lalu menghampiri Adit dan merangkulnya.
Aku tersentak kaget. Berani sekali cewek itu. Apakah dia… ah tidak
mungkin. Aku tidak mau berpikir hal-hal yang buruk.
“A-adit..”
“Oh iya Nania, ini Nayla”
“H-hai Nayla. Aku Nania” kami lalu berjabat tangan. Tangannya lembut.
Sepertinya dia tak pernah memegang benda kasar, tak mungkin.
Aku masih terpesona padanya. Dia seperti sosok cewek yang, sempurna. Dan
jika aku bandingkan dengan diriku, tak mungkin kami sebanding, tak mungkin
selevel, tak mungkin sama! Tak mungkin. Aku sebenarnya tidak terlalu
mempermasalahkan hal itu. Masalah kecantikan, teralu banyak cewek cantik yang
pernah aku lihat di televisi walaupun dia salah satunya. Tapi, mengapa
rangkulannya terlihat begitu mesra? Aditya justru membalas untuk merangkul
leher panjang dan ‘wah’ nya itu. Aku cemburu! Wajahku memerah! Tidak boleh
Adit! Kamu tidak boleh sedekat itu. Setidaknya kamu tidak boleh seperti itu di
depanku.
Nania bodoh! Tak tau dirikah kamu? Hah, berani sekali. Memangnya ada hak
apa aku ini? Aku bukan siapa-siapanya. Iya! Aku bukan siapa-siapa kamu Adit!
Aku aku tak tau diri! Tapi sakit… sakit sekali.
“Nania, ada apa?” Adit menaikkan
alis kanannya, memperhatikanku.
“A-ah eng-enggak kok” aku menunduk.
“Ini dia surprise yang aku maksudkan” Adit menepuk pelan pundak cewek yang
bernama Nayla itu.
“Aku tunangan Adit” Nayla menggoreskan senyuman manis di bibirnya yang tipis
dan berwarna merah muda.
Rasanya jantungku seperti berhenti berdetak. Dadaku berhenti
kembang-kempis. Bola mataku hampir meloncat keluar. Lidahku kaku. Tanganku
membeku. Tubuhku tak serasa lumpuh!
“Ja-jadi kejutannya…”
“iya tanggal 23 November nanti kami akan menikah. Aku ingin memperkenalkan
seluruh kehidupanku dulu kepada dirinya” katanya. “Termaksud kampung halamanku,
dan kamu. Pokonya semua masa kecil dan hal-hal yang mencangkup tentang aku deh!
Hehe” dia lalu tertawa.
Masa lalumu. Iya benar, aku memang hanya sampah masa lalumu. Dalam tawa
yang sedang menghiasi wajahmu, aku menangis. Tak ada lagi kisah indah yang aku
bayangkan akan terjadi setelah kedatanganmu. Tak mungkin lagi segala hal dan
kejadian kita dulu akan terulang.
Kalian lalu bermain air terjun bersama. Setiap air yang menetes, embun
yang dihasilkan, tawa yang merekah, bahagia yang terlukis jelas… kalian memang
sangat serasi. Aku lebih memilih duduk sendiri. Dari kejauhan aku hanya mampu
melihatmu. Dari kejauhan aku hanya mampu memanggil namamu dalam diam. Dari
kejauhan aku mampu mencintaimu. Hanya dari kejauhan aku mampu memandangimu.
Dari kejauhan aku menangisimu. Dari kejauhan cintaku rasanya telah hanyut.
Terbawa air terjun yang jatuh dari ketinggian 20 meter itu.
Tak seorangpun tau aku bersedih. Tak ada yang menyadari aku menangis. Di
atas batu besar aku sandarkan kesedihanku sendiri. Percikan air terjun telah
menyatu dengan air mataku, tak mungkin ada yang mampu membedakan antara mereka,
baguslah. Dalam sedu aku tersenyum saat kau menoleh padaku. Tak maksud aku
menghancurkan kebahagiaan kalian. Tidak. Mencintai diam-diam selalu terasa
sakit. Apalagi jika orang yang kita cintai tak pernah sadar kalau kita
mencintainya dan justru lebih memilih untuk mencintai orang lain. Cinta yang di
pendam itu tidak lebih baik, Karena cepat ataupun lambat, cinta itu mampu
membunuh mereka yang masih saja memendamnya.
Memendam cinta, sakit bukan main. Rasanya hatiku hancur berkeping-keping.
Mengapa engkau harus datang lagi? Jika selanjutnya aku tau kau akan pergi dan
meminang wanita lain. Mengapa aku harus jatuh cinta padamu? Mengapa aku begitu
yakin pada perasaanku bahwa kamulah masa depanku? Padahal bukan! Mengapa kali
ini Tuhan memberiku cobaan yang mampu menyayat perasaanku hingga ulu hati?
Sakit sekali! Iya sakit! Mengapa aku harus cinta padamu? Jadi sia-siakah
penantian panjang yang telah aku lakukan? Hilanglah sudah waktu berhargaku,
menunggu sesuatu yang justru menyakitkanku.
Jadi jelas sudah. Aku mengerti rasanya, KETIKA DIA YANG AKU HARAPKAN
UNTUK MASA DEPANKU, TERNYATA BUKAN DIA.